Loading...
Friday, October 19, 2012

MIMPI BURUK ITU DATANG


Berkaca pada beberapa kasus yang terjadi hampir tiga tahun belakangan ini dan imbasnya pada kehidupan kampus, saya ingin sedikit bercerita tentang keresahan hati saya.
Cita-cita untuk mendirikan sebuah pemerintahan mahasiswa yang mirip sebuah negara telah tercapai 1999 silam, pemerintahan itu disebut Student Government (SG). Format yang mengambil konsep trias politica dengan tiga fungsi kelembagaan (eksekutif, legeslatif, yudikatif) yang berjalan seimbang.
Kelahiran SG adalah hasil nyata perjuangan mahasiswa yang kala itu menjadi eskalator politik di negara ini. Penerapan sistem SG sebagai laboratorium for democracy di IAIN (UIN) Jakarta juga disambut baik oleh Rektor Azyumardi Azra, bahkan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah IAIN, rektor melibatkan mahasiswa dalam penentu kebijakan forum tertinggi universitas (senat universitas).
Pada perjalannya demokrasi memang tidak selamanya mulus, dengan adanya sistem kepartaian  yang menghendaki agar mahasiswa sadar bahwa dirinya mempunyai suara untuk diaspirasikan dan menghormati perbedaan pendapat, justru memunculkan ajang siapa loe siapa gue. Partai-partai kamus secara tidak langsung menjadi basis organisasi ektra dan merobohkan tembok besar yang melarang organisasi ekstra masuk kampus. Hal ini sungguh tidak bisa dinafikan memang, hanya saja primodialisme buta pada kelompok membuat konsepsi SG harus ternodai.
Pertentangan antar kader partai membuat mahasiswa terfaksionalisasi kedalam beberapa ideologi yang mereka naungi. Puncaknya terjadi saat pemilu raya 2009, Partai PPM (PMII) dan Partai Parma (HMI) sama kekeh memperebutkan kursi persiden universitas, asas demokrasi yang pernah disuarakan mahasiswa hilang, yang jadi prioritas kepentingan golongan lebih utama. Atas konflik yang berkepanjangan ini muncul usulan di seluruh PTAI untuk menerapkan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Mulai saat itulah tarik ulur untuk mempertahankan SG atau menggantinya dengan Senat dimulai.
Sampai dengan kemarin saya mengikuti pergolakan antara perubahan SG ke Senat, kenyataan yang pahit namun bukti, dari beberapa pihak yang setuju dan mengatakan SG masih sangat relevan untuk ditegakan di kampus ini bisa dibilang nihil, toh ketika melihat dilapangan nyatanya realita yang ada sangat memalukan dan tidak ada perhatian sama sekali.
Saya sempat berpikir, apa semua mahasiswa sudah terserang virus apatis? Isu-isu sosial politik bahkan yang menyangkut dirinya sendiri tidak menarik bagi mereka, atau mungkin mereka sudah terjebak pada sistem pendidikan yang menekankan pada ukuran normatif dengan IPK tinggi plus lulus cepat, lantas mereka menikmatinya?
Sebagai seseorang yang terlahir di lingkungan Nahdhiyyin, saya berpegang teguh pada qaidah fiqh, “Al Muhafadzatu ‘Alal Qadimis Shalih Wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah” (Menjaga serta melestarikan tradisi lama yang baik dan mengadopsi hal – hal baru yang lebih baik).
Jika SG masih relevan dan baik untuk diterapkan di kampus ini tidak ada salahnya qaidah diatas diimplementasikan dengan prinsip mengambil nilai-nilai lama yang baik dan mengadaptasi perubahan-perubahan baru sesuai dengan kebutuhan. Andai kata SG dianggap tidak relevan lagi, mari kita cari sistem pemerintahan mahasiswa yang benar-benar memberikan pendidikan politik, transparan, menciptakan kultur akademis, dan memberi kebebasan mahasiswa untuk berkreatifitas.
 Vacuum of Power
Tidak jelasnya sistem pemerintahan yang ada di tingkat universitas saat ini membuat banyak pihak dirugikan. Hilangnya lembaga-lembaga tingkat universitas seperti BEMU, KMU, dan DPMU yang bertujuan menjadi uswah kedewasaan berpolitik dan mediator mahasiswa untuk menyampaikan keluhkesahnya, membuat aspirasi dan berbagai unek-unek mandeg pada tataran individu dan kelompok. Maka jangan salah bila aspirasi ini lari dari dialek musyawarah antara mahasiswa dan rektorat lalu berpindah ke di dunia maya yang isinya tendensius dan cendrung menjelek-jelekan.
Apa yang tertulis di opini saudara Dika dengan judul “Cara Rektorat Menjinakan UKM”, menyebut rektorat sekarepe dewek (semaunya sendiri) memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Itu sebuah opini, subyektifitas untuk menyampaikan aspirasi salah satu pihak memang dibenarkan. Tidak adanya lembaga yang menjembatani kepentingan kedua belah pihak, bisa jadi yang membuat kedua pihak merasa paling benar, padahal kita tahu dalam penyelesaian sebuah konflik dibutuhkan lembaga/pihak netral sebagai agen of solution, itu mungkin bisa tercipta kalau masih ada BEMU, KMU, dan DPMU sebagai penengah.
Pihak rektorat tentu tidak bisa menutup mata akan hal ini, harap maklum bila beberapa kebijakan rektorat yang sebenarnya beriktikad baik bagi mahasiswa, karena dianggap tidak memberikan kebaikan bagi keduanya (win-win solution) diberi label “sekarepe dewek”.
Kekosongan pemerintah di tingkat universitas juga menjalar ke masalah anggaran, budget yang pada mulanya di tentukan oleh kongres mahasiswa dengan mempertemukan 5 partai dan UKM untuk menentukan persentase anggaran kini menjadi tidak jelas. Misalnya, sesuai kongres anggaran untuk UKM tahun 2010 Rp.60.500.000/tahun, ketika tidak ada kongres tahun 2011 Rp. 54.000.000/tahun dan tahun 2012 mendadak menjadi Rp. 26.000.000/tahun.
Masalah yang pelik justru bukan di angka Rp. 26.000.000 itu, tapi simpang siur antara 26 juta per-semester atau per-tahun yang menjadi masalah utamanya. Sehingga program kerja tiap UKM yang merujuk pada persentase anggaran tahun lalu sesuai dengan pemberitahuan rektorat bahwa anggaran tetap merujuk pada kongres, tiba-tiba dipangkas setengah lebih. Walhasil setengah dari program kerja UKM harus di tidakan dengan kata lain UKM yang sudah habis dananya “mati segan, hidup tak mau”.
Saya jadi teringat beberapa tahun lalu saat pergolakan perubahan SG menjadi Senat, salah seorang penasehat organisasi mengatakan kepada saya, perubahan SG menjadi senat akan mengancam anggaran UKM. Perkataan itu terbukti sekarang dan ini adalah mimpi buruk bagi UKM. Saya membayangkan untuk menerbitkan tabloid INSTITUT edisi ini, mungkin tim INSTITUT harus berjibaku dengan keterbatasan, tanpa harus memberi tahu secara terperinci keterbatasan itu, yang pasti sebagian pembaca tahu sendiri bahkan mengalmi, terutama bagi yang merasa dirinya sebagai aktivis.
Keluhan ini semata-mata tidak datang dari UKM saja, anak BEM yang saya tanya mengatakan saat ini susah untuk mengajukan sebuah acara. Para pembaca mungkin bisa membandingkan sendiri beberapa tahun lalu kegiatan seminar hampir setiap minggu minimal ada 2-3 seminar, dan sekarang?
Dari apa yang tertulis saya ingin menyampaikan, kekosongan pemerintah jangan sampai mencetak kelembagaan kampus menjadi structural birokratis. Apa-apa yang dilakukan mahasiswa harus terlebih dahulu mendapat arahkan dari atas, mahasiswa tidak punya inisiatif sendiri untuk belajar mengurus dirinya.
Lebih jauh lagi, saya takut mahasiswa hanya menjadi penonton pasif yang hanya menangkap berbagai derama kehidupan politik di pentas nasional melalui media masa. Mahasiswa hanya menanggkap apa yang sudah jadi, tanpa harus melalui sekenario dimana dirinya bisa terlibat langsung sebagai aktor di dalamnya (paling tidak di kampus).
Maka jangan heran kalau di kampus akan muncul budaya plagiat, tidak kritis, tidak kreatif, miskin produktif karena sejatinya civitas didalamnya dibentuk menjadi mahasiswa instan yang hanya tahu teori melalui teks-teks historis, jauh dari saluran realitas kehidupan yang ada disekitarnya.
Mobilisasi perubahan
Tulisan ini tidak bermaksud memojokan salah satu pihak, tulisan ini hanya refleksi untuk kalangan mahasiswa yang masih peduli akan kampusnya. Cepat atau lambat kita tidak bisa berdiam diri terus di posisi stagnan seperti ini, keberadaan pemerintahan di tingkat universitas adalah suanatullah dan mutlak diperlukan.
Secara pribadi saya mengajak seluruh mahasiswa UIN dari berbagai aliran, organisasi ektra, organisasi intra bersama-sama merapatkan barisan untuk secepatnya menata ulang kembali bentuk pemerintahan yang ideal bagi kampus kita tercinta. Ini semata-mata untuk kebaikan kita bersama, ya kebaikan bersama bukan golongan.
Hidup Mahasiswa!

0 komentar:

 
TOP