Berkaca
pada beberapa kasus yang terjadi hampir tiga tahun belakangan ini dan imbasnya
pada kehidupan kampus, saya ingin sedikit bercerita tentang keresahan hati
saya.
Cita-cita
untuk mendirikan sebuah pemerintahan mahasiswa yang mirip sebuah negara telah
tercapai 1999 silam, pemerintahan itu disebut Student Government (SG).
Format yang mengambil konsep trias politica dengan tiga fungsi kelembagaan
(eksekutif, legeslatif, yudikatif) yang berjalan seimbang.
Kelahiran
SG adalah hasil nyata perjuangan mahasiswa yang kala itu menjadi eskalator politik
di negara ini. Penerapan sistem SG sebagai laboratorium for democracy di
IAIN (UIN) Jakarta juga disambut baik oleh Rektor Azyumardi Azra, bahkan untuk pertama
kalinya sepanjang sejarah IAIN, rektor melibatkan mahasiswa dalam penentu
kebijakan forum tertinggi universitas (senat universitas).
Pada
perjalannya demokrasi memang tidak selamanya mulus, dengan adanya sistem kepartaian
yang menghendaki agar mahasiswa sadar
bahwa dirinya mempunyai suara untuk diaspirasikan dan menghormati perbedaan
pendapat, justru memunculkan ajang siapa loe siapa gue.
Partai-partai kamus secara tidak langsung menjadi basis organisasi ektra dan
merobohkan tembok besar yang melarang organisasi ekstra masuk kampus. Hal ini sungguh
tidak bisa dinafikan memang, hanya saja primodialisme buta pada kelompok
membuat konsepsi SG harus ternodai.
Pertentangan antar kader partai membuat mahasiswa terfaksionalisasi kedalam beberapa ideologi yang mereka naungi. Puncaknya terjadi saat pemilu raya 2009, Partai PPM (PMII) dan Partai Parma (HMI) sama kekeh memperebutkan kursi persiden universitas, asas demokrasi yang pernah disuarakan mahasiswa hilang, yang jadi prioritas kepentingan golongan lebih utama. Atas konflik yang berkepanjangan ini muncul usulan di seluruh PTAI untuk menerapkan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Mulai saat itulah tarik ulur untuk mempertahankan SG atau menggantinya dengan Senat dimulai.
Pertentangan antar kader partai membuat mahasiswa terfaksionalisasi kedalam beberapa ideologi yang mereka naungi. Puncaknya terjadi saat pemilu raya 2009, Partai PPM (PMII) dan Partai Parma (HMI) sama kekeh memperebutkan kursi persiden universitas, asas demokrasi yang pernah disuarakan mahasiswa hilang, yang jadi prioritas kepentingan golongan lebih utama. Atas konflik yang berkepanjangan ini muncul usulan di seluruh PTAI untuk menerapkan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Mulai saat itulah tarik ulur untuk mempertahankan SG atau menggantinya dengan Senat dimulai.
Sampai
dengan kemarin saya mengikuti pergolakan antara perubahan SG ke Senat, kenyataan
yang pahit namun bukti, dari beberapa pihak yang setuju dan mengatakan SG masih
sangat relevan untuk ditegakan di kampus ini bisa dibilang nihil, toh ketika
melihat dilapangan nyatanya realita yang ada sangat memalukan dan tidak ada
perhatian sama sekali.
Saya
sempat berpikir, apa semua mahasiswa sudah terserang virus apatis? Isu-isu
sosial politik bahkan yang menyangkut dirinya sendiri tidak menarik bagi mereka,
atau mungkin mereka sudah terjebak pada sistem pendidikan yang menekankan pada
ukuran normatif dengan IPK tinggi plus lulus cepat, lantas mereka menikmatinya?
Sebagai
seseorang yang terlahir di lingkungan Nahdhiyyin, saya berpegang teguh pada qaidah
fiqh, “Al
Muhafadzatu ‘Alal Qadimis Shalih Wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah”
(Menjaga serta melestarikan tradisi lama yang baik dan mengadopsi hal – hal
baru yang lebih baik).
Jika
SG masih relevan dan baik untuk diterapkan di kampus ini tidak ada salahnya qaidah
diatas diimplementasikan dengan prinsip mengambil nilai-nilai lama yang baik
dan mengadaptasi perubahan-perubahan baru sesuai dengan kebutuhan. Andai kata SG
dianggap tidak relevan lagi, mari kita cari sistem pemerintahan mahasiswa yang
benar-benar memberikan pendidikan politik, transparan, menciptakan kultur
akademis, dan memberi kebebasan mahasiswa untuk berkreatifitas.
Vacuum of Power
Tidak
jelasnya sistem pemerintahan yang ada di tingkat universitas saat ini membuat
banyak pihak dirugikan. Hilangnya lembaga-lembaga tingkat universitas seperti
BEMU, KMU, dan DPMU yang bertujuan menjadi uswah kedewasaan berpolitik
dan mediator mahasiswa untuk menyampaikan keluhkesahnya, membuat aspirasi dan
berbagai unek-unek mandeg pada tataran individu dan kelompok.
Maka jangan salah bila aspirasi ini lari dari dialek musyawarah antara
mahasiswa dan rektorat lalu berpindah ke di dunia maya yang isinya tendensius
dan cendrung menjelek-jelekan.
Apa
yang tertulis di opini saudara Dika dengan judul “Cara Rektorat Menjinakan UKM”,
menyebut rektorat sekarepe dewek (semaunya sendiri) memang tidak bisa
disalahkan sepenuhnya. Itu sebuah opini, subyektifitas untuk menyampaikan
aspirasi salah satu pihak memang dibenarkan. Tidak adanya lembaga yang menjembatani
kepentingan kedua belah pihak, bisa jadi yang membuat kedua pihak merasa paling
benar, padahal kita tahu dalam penyelesaian sebuah konflik dibutuhkan lembaga/pihak
netral sebagai agen of solution, itu mungkin bisa tercipta kalau masih
ada BEMU, KMU, dan DPMU sebagai penengah.
Pihak
rektorat tentu tidak bisa menutup mata akan hal ini, harap maklum bila beberapa
kebijakan rektorat yang sebenarnya beriktikad baik bagi mahasiswa, karena dianggap
tidak memberikan kebaikan bagi keduanya (win-win solution) diberi label
“sekarepe dewek”.
Kekosongan
pemerintah di tingkat universitas juga menjalar ke masalah anggaran, budget
yang pada mulanya di tentukan oleh kongres mahasiswa dengan mempertemukan 5
partai dan UKM untuk menentukan persentase anggaran kini menjadi tidak jelas. Misalnya,
sesuai kongres anggaran untuk UKM tahun 2010 Rp.60.500.000/tahun, ketika tidak
ada kongres tahun 2011 Rp. 54.000.000/tahun dan tahun 2012 mendadak menjadi Rp.
26.000.000/tahun.
Masalah
yang pelik justru bukan di angka Rp. 26.000.000 itu, tapi simpang siur antara 26
juta per-semester atau per-tahun yang menjadi masalah utamanya. Sehingga
program kerja tiap UKM yang merujuk pada persentase anggaran tahun lalu sesuai
dengan pemberitahuan rektorat bahwa anggaran tetap merujuk pada kongres, tiba-tiba
dipangkas setengah lebih. Walhasil setengah dari program kerja UKM harus di
tidakan dengan kata lain UKM yang sudah habis dananya “mati segan, hidup tak
mau”.
Saya
jadi teringat beberapa tahun lalu saat pergolakan perubahan SG menjadi Senat, salah
seorang penasehat organisasi mengatakan kepada saya, perubahan SG menjadi senat
akan mengancam anggaran UKM. Perkataan itu terbukti sekarang dan ini adalah mimpi
buruk bagi UKM. Saya membayangkan untuk menerbitkan tabloid INSTITUT edisi ini,
mungkin tim INSTITUT harus berjibaku dengan keterbatasan, tanpa harus memberi
tahu secara terperinci keterbatasan itu, yang pasti sebagian pembaca tahu sendiri
bahkan mengalmi, terutama bagi yang merasa dirinya sebagai aktivis.
Keluhan
ini semata-mata tidak datang dari UKM saja, anak BEM yang saya tanya mengatakan
saat ini susah untuk mengajukan sebuah acara. Para pembaca mungkin bisa membandingkan
sendiri beberapa tahun lalu kegiatan seminar hampir setiap minggu minimal ada
2-3 seminar, dan sekarang?
Dari
apa yang tertulis saya ingin menyampaikan, kekosongan pemerintah jangan sampai mencetak
kelembagaan kampus menjadi structural birokratis. Apa-apa yang dilakukan
mahasiswa harus terlebih dahulu mendapat arahkan dari atas, mahasiswa tidak
punya inisiatif sendiri untuk belajar mengurus dirinya.
Lebih
jauh lagi, saya takut mahasiswa hanya menjadi penonton pasif yang hanya
menangkap berbagai derama kehidupan politik di pentas nasional melalui media
masa. Mahasiswa hanya menanggkap apa yang sudah jadi, tanpa harus melalui
sekenario dimana dirinya bisa terlibat langsung sebagai aktor di dalamnya
(paling tidak di kampus).
Maka
jangan heran kalau di kampus akan muncul budaya plagiat, tidak kritis, tidak
kreatif, miskin produktif karena sejatinya civitas didalamnya dibentuk menjadi
mahasiswa instan yang hanya tahu teori melalui teks-teks historis, jauh dari saluran
realitas kehidupan yang ada disekitarnya.
Mobilisasi
perubahan
Tulisan
ini tidak bermaksud memojokan salah satu pihak, tulisan ini hanya refleksi
untuk kalangan mahasiswa yang masih peduli akan kampusnya. Cepat atau lambat
kita tidak bisa berdiam diri terus di posisi stagnan seperti ini, keberadaan
pemerintahan di tingkat universitas adalah suanatullah dan mutlak diperlukan.
Secara
pribadi saya mengajak seluruh mahasiswa UIN dari berbagai aliran, organisasi
ektra, organisasi intra bersama-sama merapatkan barisan untuk secepatnya menata
ulang kembali bentuk pemerintahan yang ideal bagi kampus kita tercinta. Ini semata-mata
untuk kebaikan kita bersama, ya kebaikan bersama bukan golongan.
Hidup
Mahasiswa!
0 komentar:
Post a Comment