Kabar gembira diakhir tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 6,5 persen yang digambarkan dari produk domestik bruto (PDB). Betapa tidak gembira ditengah krisis negara-negara Eropa yang meruntuhkan pondasi keuangan kawasan itu, Indonesia mampu survive dengan pertumbuhan ekonomi yang terus naik dari tiap triwulannya.
Setelah laporan tersebut dikeluarkan berbagai pihakpun berbeda pandangan, kelompok yang kurang puas menganggap angka tersebut tercipta dengan sendirinya tanpa ada langkah berarti yang dilakukan pemerintah, ada juga yang membusungkan dada beranggapan hasil tersebut merupakan bukti kerja kerasnya. Terlepas dari perdebatan tersebut sebenarnya pemerintah harus meninjau kembali apakah dengan kenaikan PDB tersebut garis kemiskinan semakin menurun yang ditunjukan dengan luasnya lapangan pekerjaan dan mudahnya mengenyam pendidikan? Atau apakah angka tersebut sudah sesuai ketika melihat semakin maraknya pelanggaran HAM dan kekerasan yang dilakukan oknum kepada rakyat yang memperjuangkan hak ekonominya?
Pada awal tahun lalu Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan angka kemiskinn semakin menurun dari tahun ketahun, ini membuktikan bahwa pemerintah telah konsisten untuk memutus tali kemiskinan. Namun sebelum beranjak ada sesuatu yang masih menyisahkan tanya dalam benak saya, kemiskinan yang seperti apa yang dimaksud pemerintah, sebab definisi kemiskinan dibeberapa lembaga diartikan dengan beragam.
Bank dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia yang bisa berupa fisik maupun sosial. Kekurangan fisik bisa berupa ketidakcukupan kebutuhan dasar dan biologis seperti kekurangan gizi, kesehatan pendidikan dan perumahan. Sedangkan, kekurangan sosial, adanya resiko kehidupan, ketergantungan, ketidak berdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang.
Walaupun BPS menggunakan 14 variabel untuk mengkatagorikan penduduk miskin di Indonesia, secara umum seseorang yang berbicara kemiskinan maka yang dimaksud adalah kemiskinan material. Mendefinisikan kemiskinan dari sudut pandang materi tidaklah cukup. Andaipun menggunakan tolak ukur materi yang dapat dilihat dari pendapatan perkapita setiap kepala rumah tangga, Indonesia masih dibawah standar bank dunia dan PBB.
Walaupun BPS menggunakan 14 variabel untuk mengkatagorikan penduduk miskin di Indonesia, secara umum seseorang yang berbicara kemiskinan maka yang dimaksud adalah kemiskinan material. Mendefinisikan kemiskinan dari sudut pandang materi tidaklah cukup. Andaipun menggunakan tolak ukur materi yang dapat dilihat dari pendapatan perkapita setiap kepala rumah tangga, Indonesia masih dibawah standar bank dunia dan PBB.
Standar yang berbeda akan menghasilkan statistik yang berbeda pula, BPS ditahun 2010 saja masih menggunakan asumsi pendapatan Rp211.726 per bulan atau sekitar Rp7.000 per hari sebagai garis kemiskinan. Dengan standar ini saja angka kemiskinan sebesar 31,02 juta orang atau 13,33%, artinya jika di samakan dengan standar bank dunia U$D 2/ hari dan PBB 1/ hari jumah angka kemiskinan semakin berlipat ganda. Sapi di Eropa menerima subsisdi U$D 2,5/hari dari UNI Eropa, kalaupun tidak samapai mendekati angka tersebut setidaknya Indonesia berani menstandarkan kemiskinan U$D 1/ hari seperti yang sudah dijalankan oleh negara tetangga seperti Vietnam. Karena mustahil seorang kepala rumah tangga menghidupi satu keluarganya hanya dengan uang Rp. 7.000/hari.
Mudah-mudahan sejauh ini pengukuran standar kemiskinan bukan dipesan dari pihak yang berkuasa untuk menjaga citra pemerintah, karena akhir-akhir ini banyak kritik yang dilontarkan apabila statistik kinerja pemerinah menunjukan penurunan. Bagaimanapun akurasi angka statistik adalah hal penting untuk menentukan kebijakan dan solusi yang efektif bagi persoalan yang ada.
Pendidikan
Selama dua tahun saya tinggal di Jakarta, potret kemiskinan di ibu kota tidak mengalami perubahan signifikan. Pengemis, glandangan, dan pengamen mudah sekali ditemui diberbagai tempat, mirisnya lagi semakin banyak pengamen di angkutan umum bukan saja anak-anak muda yang malas berkerja tapi anak-anak kecil yang semestinya waktu tersebut diisinya untuk belajar di sekolah. Saya pernah bertanya langsung pada pengamen kecil itu, ia mengaku berhenti sekolah karena tidak ada biaya untuk buku dan uang iyuran. Sempat saya berpikir, lari kemana dana bantuan operasional sekolah yang dianggarkan pemerintah selama ini.
Negara berkewajiban untuk menghapus kemiskinan dan melindungi hak-hak rakyatnya, salah satunya dengan memanjukan dunia pendidikan. Pemerintah wajib menyediakan dana yang cukup dari APBN untuk kemajuan pendidikan, pada kenyataannya pemerintah menyediakan anggaran pendidikan beberapa persen saja dari ketentuan anggaran yang termuat dalam UUD sebesar 20% dari APBN, bahkan ada beberapa pihak yang berusaha meniadakan dana tersebut dengan merancang RUU BHP yang semakin memojokan dunia pendidikan, untunglah usaha tersebut mampu digagalkan oleh mahkamah konstitusi pada uji materi.
Pemerintah seharusnya belajar dari sejarah yang ada sebagai batu pijakan untuk kemajuan Indonesia. Kemajuan negara Jepang dimulai dari meningkatkan intelektualitas generasi mudanya. Untuk itu, uruslah anak negeri ini supaya dapat pendidikan layak seperti yang telah diamanatkan dalam muqadiman UUD, “mencerdaskan anak bangsa”. Siapa lagi yang akan mengurus negeri ini kalau bukan putra-putri bangsa, cukuplah kasus TKI diluar negeri yang mencerminkan rakyat Indonesia diperlakukan lajimnya budak di negeri orang, jangan samapai beberapa puluh tahun mendatang kita benar-benar menjadi budak di negeri sendiri.
0 komentar:
Post a Comment