Krisis moral benar-benar sedang mengoyak masyarakat Indonesia, tidak hanya pada ranah perpolitikan dan hukum tapi dalam bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan mulai mencuat kepermukaan. Kasus-kasus pembobolan yang dilakukan pihak bank dan kekerasan yang dilakukan pihak bank terhadap kreditur merupakan cerminan minimnya undang-undang yang mengatur mengenai tata kelola perusahaan yang baik.
Bank dikenal sebagai lembaga yang hidupnya bertumpu pada kepercayaan masyarakat, sehingga mau atau tidak bank harus hidup dengan memelihara tingkat leverage yang sangat tinggi. Krisis kepercayaan bisa membuat bank kesulitan secara financial, ini terjadi ketika krisis 1998 yang menyababkan beberapa bank harus tutup. Begitu penting arti sebuah kepercayaan menjadi syarat mutlak bank untuk menjaga citra baiknya kepada masyarakat agar masyarakat tertarik untuk meninvestasikan dananya. Dengan kata lain indikator kebesaran sebuah bank ditentukan oleh dana masyarakat yang masuk.
Kondisi ini tidak terjadi pada sektor lainnya khususnya sector rill. Namun akhir-akhir ini berbagai kasus kejahatan yang dilakukan oknum bank membuat citra bank tercoreng. Jika ini terjadi secara permanen bukan tidak mungkin kepercayaan terhadap perbankan akan pudar dan penarikan uang besar-besaran (rush) akan terulang kembali yang nantinya akan menyusahkan pemerintah.
Saat program penjamin dicabut dan digantikan lembaga penjamin simpanan (LPS) pada tahun 2007 masyarakat panik karena dananya hanya dijamin pemerintah sebesar 100 juta. Sekarang masyarakat juga dipanikan terhadap perilaku pegawai bank yang lepas kontrol dan rawan moral hazard dengan menggelapkan uang nasabah demi memperkaya diri.
Pengawasan internal
Terbagun sebuah paradigma masyarakat bahwa, suatu aib bagi sebuah bank jika dibank tersebut terjadi sekandal yang melibatkan orang dalam. Sangat masuk akal apabila masyarakat menilai seperti itu karena selama ini masyarakat meyakini dalam sebuah bank pasti telah diatur sistem dan prosedur yang amat ketat, mulai dari perekrutan pegawai sampai penjaminan pinjaman.
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, begitupula bank seketat apapun sistem prosedurnya jika sumber daya manusianya tidak mempunyai mental amanah, sekandal perbankan tidak bisa dihindarkan lagi. Ada dua penyebab terjadinya sekandal perbankan yakni error omission dan error commission. Namun dari kedua penyebab tersebut, setiap kali terjadi kerugian bank pada umumnya disebabkan faktor pertama, yang dilakukan dengan unsur kesengajaan manusia.
Direksi sebagai pihak yang dipercaya oleh pemilik untuk mengelola bank mempunyai tanggung jawab penuh terhadap sesuatu yang terjadi pada bank yang mereka kelola. Tanggung jawab tersebut tentunya harus dilihat dalam kontek korporat, misalnya Jika terjadi pembobolan direksi tidak bisa disalahkan dan dicap tidak becus kinerjanya. Kesalahan utama direksi disini hanya terletak pada pemilihan pegawai cabang yang ternyata tidak mampu mengemban amanah yang didelegasikannya. Untuk itu, pengawasan internal perlu diperbaiki agar tingkat kecurangan pegawai bisa diminimalisir.
Didalam praktiknya peningkatan pengawasan internal ini acap kali berbenturan dengan repotnya direksi bank jika setiap kali ada transaksi penerimaan setoran tabungan, pembukaan deposito dan sebagainya harus memberikan persetujuannya. Pada akhirnya pendelegasian wewenang direksi kepada bawahan harus dilakukan dengan didukung kesadaran pribadi dari setiap pegawai.
Budaya kontrol
Perbankan mulai saat ini hendaknya menumbuhkan budaya control terhadap lingkungan pegawai. Para pegawai harus tanggap terhadap lingkungannya, setiap terjadi kecurangan hendaknya pegawai tersebut berusaha mencegah perbuatan tersebut agar terhindar dari kerugian. Bank juga harus memberikan pengertian keseluruh pegawai bahwa kecurangan yang dilakukan oleh pegawai akan berdampak pada kerugian bank. Jika kerugian ini berdampak besar, bukan mustahil kasus PHK besar-besaran akan terjadi sebagaimana yang terjadi pada bank Asiatic dan bank BDB tempo dulu.
Pada akhirnya masyarakat sejak kini dituntut untuk lebih cerdas memilih bank yang sehat. Sehat dalam artian menguntungkan, aman, dan nyaman baik dari segi keuangan dan bisnis yang sehat. Saat ini tolak ukur kesehatan suatu bank tidak hanya dilihat dari (Non Performing Loan) NPL dan (Capital Adequacy Ratio) CAR tapi melihat kejadian yang terjadi sekarang masyarakat juga harus melihat reputasi, trackrecord dan cara kerja pengurus yang mengelola bank tersebut.
Kondisi ini tidak terjadi pada sektor lainnya khususnya sector rill. Namun akhir-akhir ini berbagai kasus kejahatan yang dilakukan oknum bank membuat citra bank tercoreng. Jika ini terjadi secara permanen bukan tidak mungkin kepercayaan terhadap perbankan akan pudar dan penarikan uang besar-besaran (rush) akan terulang kembali yang nantinya akan menyusahkan pemerintah.
Saat program penjamin dicabut dan digantikan lembaga penjamin simpanan (LPS) pada tahun 2007 masyarakat panik karena dananya hanya dijamin pemerintah sebesar 100 juta. Sekarang masyarakat juga dipanikan terhadap perilaku pegawai bank yang lepas kontrol dan rawan moral hazard dengan menggelapkan uang nasabah demi memperkaya diri.
Pengawasan internal
Terbagun sebuah paradigma masyarakat bahwa, suatu aib bagi sebuah bank jika dibank tersebut terjadi sekandal yang melibatkan orang dalam. Sangat masuk akal apabila masyarakat menilai seperti itu karena selama ini masyarakat meyakini dalam sebuah bank pasti telah diatur sistem dan prosedur yang amat ketat, mulai dari perekrutan pegawai sampai penjaminan pinjaman.
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, begitupula bank seketat apapun sistem prosedurnya jika sumber daya manusianya tidak mempunyai mental amanah, sekandal perbankan tidak bisa dihindarkan lagi. Ada dua penyebab terjadinya sekandal perbankan yakni error omission dan error commission. Namun dari kedua penyebab tersebut, setiap kali terjadi kerugian bank pada umumnya disebabkan faktor pertama, yang dilakukan dengan unsur kesengajaan manusia.
Direksi sebagai pihak yang dipercaya oleh pemilik untuk mengelola bank mempunyai tanggung jawab penuh terhadap sesuatu yang terjadi pada bank yang mereka kelola. Tanggung jawab tersebut tentunya harus dilihat dalam kontek korporat, misalnya Jika terjadi pembobolan direksi tidak bisa disalahkan dan dicap tidak becus kinerjanya. Kesalahan utama direksi disini hanya terletak pada pemilihan pegawai cabang yang ternyata tidak mampu mengemban amanah yang didelegasikannya. Untuk itu, pengawasan internal perlu diperbaiki agar tingkat kecurangan pegawai bisa diminimalisir.
Didalam praktiknya peningkatan pengawasan internal ini acap kali berbenturan dengan repotnya direksi bank jika setiap kali ada transaksi penerimaan setoran tabungan, pembukaan deposito dan sebagainya harus memberikan persetujuannya. Pada akhirnya pendelegasian wewenang direksi kepada bawahan harus dilakukan dengan didukung kesadaran pribadi dari setiap pegawai.
Budaya kontrol
Perbankan mulai saat ini hendaknya menumbuhkan budaya control terhadap lingkungan pegawai. Para pegawai harus tanggap terhadap lingkungannya, setiap terjadi kecurangan hendaknya pegawai tersebut berusaha mencegah perbuatan tersebut agar terhindar dari kerugian. Bank juga harus memberikan pengertian keseluruh pegawai bahwa kecurangan yang dilakukan oleh pegawai akan berdampak pada kerugian bank. Jika kerugian ini berdampak besar, bukan mustahil kasus PHK besar-besaran akan terjadi sebagaimana yang terjadi pada bank Asiatic dan bank BDB tempo dulu.
Pada akhirnya masyarakat sejak kini dituntut untuk lebih cerdas memilih bank yang sehat. Sehat dalam artian menguntungkan, aman, dan nyaman baik dari segi keuangan dan bisnis yang sehat. Saat ini tolak ukur kesehatan suatu bank tidak hanya dilihat dari (Non Performing Loan) NPL dan (Capital Adequacy Ratio) CAR tapi melihat kejadian yang terjadi sekarang masyarakat juga harus melihat reputasi, trackrecord dan cara kerja pengurus yang mengelola bank tersebut.
0 komentar:
Post a Comment