Di masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, Indonesia patut membanggakan diri sebagai negara maritim karena kekuatan laut yang sangat tangguh baik dari segi militer maupun perekonomiannya, di masa pemerintahan Soeharto Indonesia juga patut berbangga menjadi negara agraris karena swasembada pangan yang pernah dicapai dengan program Pelita-nya, di masa pemerintahan sekarang masih banggakah Indonesia menyebut dirinya sebagai negara maritim atau agraris?
Dilihat dari perkembangannya kedua sektor yang menjanjikan tersebut seperti berjalan ditempat, sektor pertanian masih tertatih bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri setiap tahunnya pemerintah masih mengimpor beras, di sektor perikanan pun hasil tangkapan setiap tahunnya tidak ada peningkatan yang signifikan.
Luas wilayah Indonesia 77% atau 6.1 juta km2 adalah laut, potensi kelautan yang sangat besar merupakan modal untuk mensejahtrahkan rakyat. Namun, potensi tersebut ternyata tidak membuat pemerintah tergiur untuk memberdayakannya.
Dari laporan Bapenas kontribusi sektor perikanan dan kelautan Indonesia terhadap GDP hanya 20%, padahal negara kepulauan yang lebih kecil saja seperti Jepang dapat menyumbang GDP sebesar 54%. Kontribusi tersebut, mungkin juga berbanding lurus dengan keadaan nelayan Indonesia yang sebagian besar masih tradisional.
Lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melaporkan terjadi penurunan jumlah nelayan yang berpindah profesi karena hasil tangkapannya yang jauh lebih kecil dengan cost yang dikeluarkan untuk melaut. Bila hal ini dibiarkan kebutuhan ikan dalam negeri akan berkurang dan bisa saja pemerintah akan mengimpor ikan dari luar negeri guna memenuhi kebutuhan nasional, kalau ini sampai terjadi mau ditaruh mana muka kita yang selama ini bangga mengaku sebagai negara maritim.
Subsidi Peralatan dan Teknologi
Program bantuan langsung tunai (BLT) yang saat ini bernama bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 17 triliun, rencananya akan disalurkan untuk sektor konsumsi rumah tangga. Program ini bisa dibilang tidak efektif sebab tidak ada manfaat jangka panjang yang didapat masyarakat, bila BLSM terus diterapkan setiap kenaikan harga BBM tentunya pemerintah seperti berputar pada lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.
Subsidi akan lebih bermanfaat untuk pengembangan di sektor kelautan yang sudah tertinggal jauh. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk kemajuan sektor kelautan. Pertama, pemerintah membantu memberi subsidi untuk kelengkapan peralatan dan teknologi bagi para nelayan. Kedua, pendampingan LSM dan akademisi secara continue untuk mengembangkan soft skill para nelayan.
Penguatan label negara maritim tidak terletak pada luas wilayah lautnya saja, tapi label tersebut akan datang dengan sendirinya ketika sektor kelautan dapat memberikan andil besar bagi kesejahtraan rakyat. Bila Indonesia masih bangga disebut sebagai negara maritim tentunya pemerintah harus secara proritas memajukan sektor perikanan dan kelautan dengan membuat program-program yang berkesinambungan.
Luas wilayah Indonesia 77% atau 6.1 juta km2 adalah laut, potensi kelautan yang sangat besar merupakan modal untuk mensejahtrahkan rakyat. Namun, potensi tersebut ternyata tidak membuat pemerintah tergiur untuk memberdayakannya.
Dari laporan Bapenas kontribusi sektor perikanan dan kelautan Indonesia terhadap GDP hanya 20%, padahal negara kepulauan yang lebih kecil saja seperti Jepang dapat menyumbang GDP sebesar 54%. Kontribusi tersebut, mungkin juga berbanding lurus dengan keadaan nelayan Indonesia yang sebagian besar masih tradisional.
Lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melaporkan terjadi penurunan jumlah nelayan yang berpindah profesi karena hasil tangkapannya yang jauh lebih kecil dengan cost yang dikeluarkan untuk melaut. Bila hal ini dibiarkan kebutuhan ikan dalam negeri akan berkurang dan bisa saja pemerintah akan mengimpor ikan dari luar negeri guna memenuhi kebutuhan nasional, kalau ini sampai terjadi mau ditaruh mana muka kita yang selama ini bangga mengaku sebagai negara maritim.
Subsidi Peralatan dan Teknologi
Program bantuan langsung tunai (BLT) yang saat ini bernama bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 17 triliun, rencananya akan disalurkan untuk sektor konsumsi rumah tangga. Program ini bisa dibilang tidak efektif sebab tidak ada manfaat jangka panjang yang didapat masyarakat, bila BLSM terus diterapkan setiap kenaikan harga BBM tentunya pemerintah seperti berputar pada lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.
Subsidi akan lebih bermanfaat untuk pengembangan di sektor kelautan yang sudah tertinggal jauh. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk kemajuan sektor kelautan. Pertama, pemerintah membantu memberi subsidi untuk kelengkapan peralatan dan teknologi bagi para nelayan. Kedua, pendampingan LSM dan akademisi secara continue untuk mengembangkan soft skill para nelayan.
Penguatan label negara maritim tidak terletak pada luas wilayah lautnya saja, tapi label tersebut akan datang dengan sendirinya ketika sektor kelautan dapat memberikan andil besar bagi kesejahtraan rakyat. Bila Indonesia masih bangga disebut sebagai negara maritim tentunya pemerintah harus secara proritas memajukan sektor perikanan dan kelautan dengan membuat program-program yang berkesinambungan.
0 komentar:
Post a Comment