Apa yang membuat orang tua bahagia? Jawabannya adalah ketika
melihat anak-anaknya sukses. Berbicara kata sukses sendiri tidak bisa diukur
dari parameter yang mutlak karena kesuksesan itu relatif dan cukup luas jika
dijabarkan, namun demikian jika ditinjau dari sudut yang lebih sempit, sukses
bisa diartikan sebagai pencapaian dari sebuah usaha. Bentuk dari kesuksesan itu
salah satunya menamatkan kuliah. Proses dari sebuah usaha disini berlangsung selama
empat tahun lamanya, bagaimana kita berlajar, berkorban waktu, dan berkorban
uang dari hasil tetes keringat orang tua kita.
Selama empat tahun kurang aku berjuang di UIN Jakarta. Perih, pedih,
dan gembira semua pernah saya rasakan. Aku masuk UIN melalui Ujian jalur
Mandiri (UM) yakni jalur terakhir dari penerimaan masuk UIN, kenapa pilih jalur
terakhir? Karena 2 kali berturut-turut aku gagal masuk universitas terkemuka di
jurusan yang sama seperti yang aku ambil di UIN.
Hal yang paling aku ingat sebelum masuk UIN adalah ikut bimbel yang diadakan selama 3 hari, dari 200 orang lebih jurusan IPS yang mengikuti bimbel Alhamdulillah aku peringkat pertama dalam try out ujian masuk UIN, sampai sekarang masih ada buku catatan dari hadiah ujian try out dulu, malah saya jadikan buku catatan pribadi yang isinya cerita cinta, pengalaman, dan cita-citaku. Ujian masuk dilaksanakan dan betapa kagetnya ternyata setengah soal di bimbel yang aku pelajari keluar.
Hal yang paling aku ingat sebelum masuk UIN adalah ikut bimbel yang diadakan selama 3 hari, dari 200 orang lebih jurusan IPS yang mengikuti bimbel Alhamdulillah aku peringkat pertama dalam try out ujian masuk UIN, sampai sekarang masih ada buku catatan dari hadiah ujian try out dulu, malah saya jadikan buku catatan pribadi yang isinya cerita cinta, pengalaman, dan cita-citaku. Ujian masuk dilaksanakan dan betapa kagetnya ternyata setengah soal di bimbel yang aku pelajari keluar.
Singkat cerita aku diterima di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UIN pada tahun 2009, cerita yang unik pada awal masuk yakni bahasa
indonesiaku yang “meledok” abis, kalau kata orang jawa sana “”ngapak”.
Gimana nggak meledok abis, selama 3 tahun hidup di daerah jawa yang
bahasanya super ngapak membuat kita menyesuaikan diri. Awal semester
satu aku masih kayak anak mamih, kuliah selesai langsung pulang, kegiatan ini
terus berlangsung sampai dipenghujung semester satu. Akhirnya aku menemukan
kegiatan yang menarik menurutku, aku masuk Lemabaga Pers Mahasiswa (LPM)
INSTITUT, lembaga ini termasuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berada
didalam kampus UIN.
Awal pelatihan di INSTITUT sudah sampai magrib, waduh firasatku nggak
enak nih, gimana bisa belajar kegiatannya saja tiap hari (sok akademis dikit),
kalau nggak ada kegiatan dikasih tugas, dan lebih kagetnya lagi setelah seminggu
ta’aruf langsung ditanya “Loe milih ninggalin kuliah apa ninggalin kegiatan
INSTITUT? Kalau loe nggak siap ninggalin kuliah demi kegiatan kita mendingan
loe buka pintu pergi aja dari sini!” mendadak aku langsung gugup, mau
gimana lagi aku harus memilih, kadung cinta di dunia tulis menulis akhirnya aku
tanda tangan MoU yang isinya kesiapan mengikuti semua kegitan INSTITUT.
Firasatku benar terjadi, hal yang buruk segera datang, selama pelatihan menjadi calon anggota rasanya sangat-sangat berat. Terlebih lembaga ini sedang diambang kemusnahan karena selama 2 tahun terjadi benturan-benturan internal yang disebabkan adanya perbedaan bendera antara hijau dan biru. Pecah kongsi tak dapat terhindarkan dan meninggalkan segelintir manusia di organisasi. Ditambah lagi dari pihak rektorat beberapa kali memberi isyarat untuk menghapus lembaga ini karena kurangnya peminat. Imbasnya pada kaderisasi angkatanku menjadi super keras dan menekankan loyalitas organisasi. Tidak hanya dikuras lewat tenaga saja secara mentalpun kita benar-benar merasa diperbudak. Pendidikan yang super keras pada titik tertentu akupun hampir mengundurkan diri, tapi berkat kawan-kawan angkatanku yang tak henti-hentinya memberi support akhirnya aku bertahan. Karena merasa senasib sepenanggungan, angkatanku membuat forum underground yang isinya upaya untuk membebaskan diri dari pendidikan yang tidak manusiawi, jargon yang kita pakai “Merdeka atau terjajah selamanya!”. Ajaran Pramodeya tentang “boikot” kita pakai dan menjadi agenda besar untuk menumbangkan rezim kesewenang-wenangan, Alternatif selanjutnya adalah mengkudeta. Angkatankupun melakukan boikot dan memberikan hasil nyata, pasca kepengurusan rezim lama lalu naiklah angkatanku sebagai pengurus baru, organisasipun menjadi normal artinya organisasi menjadi independen dan bebas dari pendiktean kebijakan.
Firasatku benar terjadi, hal yang buruk segera datang, selama pelatihan menjadi calon anggota rasanya sangat-sangat berat. Terlebih lembaga ini sedang diambang kemusnahan karena selama 2 tahun terjadi benturan-benturan internal yang disebabkan adanya perbedaan bendera antara hijau dan biru. Pecah kongsi tak dapat terhindarkan dan meninggalkan segelintir manusia di organisasi. Ditambah lagi dari pihak rektorat beberapa kali memberi isyarat untuk menghapus lembaga ini karena kurangnya peminat. Imbasnya pada kaderisasi angkatanku menjadi super keras dan menekankan loyalitas organisasi. Tidak hanya dikuras lewat tenaga saja secara mentalpun kita benar-benar merasa diperbudak. Pendidikan yang super keras pada titik tertentu akupun hampir mengundurkan diri, tapi berkat kawan-kawan angkatanku yang tak henti-hentinya memberi support akhirnya aku bertahan. Karena merasa senasib sepenanggungan, angkatanku membuat forum underground yang isinya upaya untuk membebaskan diri dari pendidikan yang tidak manusiawi, jargon yang kita pakai “Merdeka atau terjajah selamanya!”. Ajaran Pramodeya tentang “boikot” kita pakai dan menjadi agenda besar untuk menumbangkan rezim kesewenang-wenangan, Alternatif selanjutnya adalah mengkudeta. Angkatankupun melakukan boikot dan memberikan hasil nyata, pasca kepengurusan rezim lama lalu naiklah angkatanku sebagai pengurus baru, organisasipun menjadi normal artinya organisasi menjadi independen dan bebas dari pendiktean kebijakan.
Di LPM INSTITUT aku menjalani dua kepengurusan, periode pertama tahun 2011 menjadi sekretaris umum dan periode kedua tahun 2012 menjadi divisi riset dan pendidikan. Berbagai kebijakan rezim lama kami rubah mulai dari sistematika pendidikan, memasukan survei, pernggantian cover menjadi berwarna, menghidupkan iklan, menghidupkan kembali majalah (Majalah yang kami gagas sudah jadi namun karena terkendala pendanaan, sehingga majalah baru terealisasi diangkatan berikutnya dengan judul “Cerita Seputar Ciputat”) dan penambahan eksemplar dari 1000 tabloid menjadi 2000 tabloid. Untuk meletakan batu pertama bukanlah perkara mudah, aku ingat betul saat pertama membuat survei, aku sendiri harus berputar-putar 11 fakultas dan merancang agar survei yang dibuat mudah dipahami sekaligus memberikan representasi dari suara mayoritas.
Buah dari perjuangan yang panjang ini, akhirnya LPM INSTITUT mampu
tampil dikancah nasional sebagai persma yang kritis dan dianugrahi Insprima
Awrd sebaga non majalah Jawa terbaik. Bagi teman-taman yang baru ingin menjadi
wartawan di LPM INSTITUT janganlah berkecil hati ataupun ciut nyalinya,
INSTITUT sekarang bukanlah INSTITUT yang dulu seperti yang saya ceritakan
diatas, INSTITUT sekarang lebih kekeluargaan dan tidak ada senioritas. Akan
sangat rugi kalau kamu interest dibidang jurnalistik tapi tidak aktif di
LPM INSTITUT karena banyak pengalaman yang akan anda dapatkan.
Pasca lengser dari INSTITUT di penghujung tahun 2012 aku tidak
aktif diorganisasi manapun, karena memang semesterku sudah memasuki semester
akhir aku lebih fokus untuk mengerjakan tugas akhir kuliah “skripsi”. Selain
itu aku juga punya misi pribadi, aktivispun bisa lulus cepat. Puji sukur pengorbananku selama 6 bulan
lamanya berbuah manis, dari angkatanku jurusan manajemen sebanyak 300-an
mahasiswa yang diwisuda angkatan 90 hanya 10 orang dan aku salah satunya.
Memang aku akui dari segi nilai punyaku setandar karena dari semester awal aku
lebih suka diorganisasi sehingga kuliah dinomor duakan, aku punya prinsip
substansi dari apa yang diajarkan lebih penting daripada mengejar nilai, yang
pada akhirnya hanya dijadikan formalitas belaka. Kata orang bijak “prosesnya
itu lebih penting dari pada hasil”.
Wisuda UIN Jakarta Angkatan 90
Beberapa hari menjelang wisuda musim seperti tak bersahabat, hujan
seharian selama tiga hari berturut-turut melanda Ciputat, dalam hati kecut
rasanya membayangkan acara wisudaku akan dibarengi dengan hujan. Kata orang
patah hati “hujan adalah kesedihan”, begitupun bagi acara akbar macam
wisudaku ini, hujan akan menimbulkan kesedihan karena orang-orang dekat yang
berniat datang pasti ada yang mengurungkan niatnya. Tuhan berkata lain,
ternyata bertepatan acara wisuda hari sangat cerah, semburat awan kecil dan
birunya langit yang menghiasi dinding langit kala itu. Mungkin ini hasil dari
doa ribuan para sarjana dan orang tua yang menunggu-nunggu datangnya hari H
itu, sehingga langitpun urung untuk meneteskan air mata.
Tepat pukul 07.00 pagi sesuai dengan intrupsi dalam undangan semua peserta
wisuda diwajibkan berkumpul didepan halaman gedung rektorat. Rektor bersama
pembantu rektor (Purek) Kemahasiswaan secara simbolis menerbangkan balon
sebagai awal pembukaan acara wisuda. Tepuk tangan meriah mengiringi terbangnya
balon bertuliskan wisuda sarjana ke-90 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudin
para sarjana dipersilahkan masuk Auditorium Harun Nasution.
Memasuki acara pertama MC mempersilahkan seluruh hadirin berdiri
menyambut jajaran rektor dan guru besar memasuki panggung utama. Kumandang lagu
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” mengalun syahdu, menembus sanubari, lantas
diikuti lagu kebangsaan Indonesia. Pembacaan ayat suci al-quran kemudian masuk
ke acara inti yakni pembukaan sidang senat terbuka tentang pembacaan surat
kelulusan yang isinya jumlah perserta wisuda ke 90 dan pengumuman mahasiswa
terbaik. Wisuda kali ini bertemakan “Membangun Pusat Kajian Islam untuk
Indonesia yang Ramah” diikuti sebanyak 1.345 sarjana yang dibagi menjadi 2
hari, jumlah sarjana di fakultasku (Ekonomi dan Bisnis) sebanyak 139 sarjana.
Untuk kelanjutan acara cari tahu sendiri ya, dan bagi kamu yang belum lulus
cepat-capat deh lulus. Wisuda itu acara sakral, apalagi wisuda S1 sangat
berkesan banget. Kata Sahrini “Sesuatu Banget”.
0 komentar:
Post a Comment