Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia pendidikan, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri. Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu dengan mendirikan dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik dengan baik.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang besar dan terampil, sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam, pada tahun 1950 Departemen Agama telah mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Lulusan sekolah ini dipersiapkan sebagai guru agama di sekolah dasar baik sekolah umum maupun sekolah dasar Islam. Sedangkan untuk memenuhi guru-guru agama Islam di sekolah menengah Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA). Tamatan sekolah ini juga untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah dan sebagai hakim di pengadilan agama. Umat Islam telah memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan tinggi yang berbasiskan Islam dengan tujuan untuk memperdalam dan memahami ajaran Islam.
Sebelum Indonesia merdeka, keinginan untuk mempunyai perguruan tinggi telah diwujudkan dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Minangkabau yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1940. Namun Sekolah Tinggi Islam ini hanya berjalan dua tahun, kedatangan Jepang di Padang telah memaksa Sekolah ini tutup, sedangkan Jepang hanya mengizinkan pendidikan Islam di tingkat Madrasah atau sekolah dasar dan menengah. Sedangkan di Jawa, umat Islam juga menginginkan adanya perguruan tinggi Islam. Gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam telah muncul pada tahun 1938 oleh Dr. Satiman melalui majalah PM No. 15. Kemudian ide tersebut diusung oleh majalah AID No. 128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi di Jakarta, Solo dan Surabaya.
Akibat penjajahan Jepang gagasan ini juga tidak dapat direalisasikan. Baru pada tahun 1945 STI dapat didirikan atas inisiatif beberapa pemimpin Islam yang tergabung dalam satu yayasan yang diketuai oleh Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Sedangkan STI tersebut diketuai oleh K.H. Kahar Muzakkir. Ketika terjadi perang kemerdekaan STI dipindahkan ke Yogyakarta tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945. Namun tiga tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 22 Maret 1948 STI di Yogyakarta ini berubah bentuk menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Paedagogik (Pendidikan).
Melalui peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950 yang ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Agustus 1950, Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertujuan memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat kegiatan dalam mengembangkan serta memperdalam ilmu pengetahuan Agama Islam, dan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Agama. Seiring dengan hal tersebut Fakultas Umum UII yaitu Fakultas Hukum, fakultas Ekonomi dan Fakultas Pendidikan berubah bentuk menjadi Universitas Gajah Mada (UGM) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950. dengan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perkembangan selanjutnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga ahli pendidikan agama dan urusan agama dilingkungan Departemen Agama, didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta sebagaimana dituangkan dalam penetapan Menteri Agama No. 1 Tahun 1957. ADIA terdiri dari dua jurusan yaitu Jurusan Pendidikan Agama dan Jurusan Sastra. Lama studi di ADIA ini adalah lima tahun yang dibagi menjadi dua tingkatan yaitu tingkat Semi Akademi selama 3 tahun, sedangkan tingkat kedua adalah Akademi yang ditempuh selama 2 tahun.
Sejak berdirinya Departemen Agama pada tahun 1946, muncul kebutuhan-kebutuhan terhadap tenaga-tenaga ahli agama Islam dan hakim-hakim agama di pengadilan agama. Kekurangan tenaga hakim tersebut dapat dipenuhi dengan membuka jurusan Hakim Agama di ADIA. Untuk sementara para mahasiswanya hanya mereka yang telah menjadi pegawai dan jawatan agama yang telah mengabdikan diri selama tidak kurang dari dua tahun dan berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun, sehingga ADIA tidak dapat menambah kuantitas mereka dan hanya meningkatkan kualitas para pegawai yang bekerja di lingkungan Departemen agama saja. Dengan demikian ADIA disamping menciptakan tenaga-tenaga guru agama juga menciptakan tenaga-tenaga terampil dalam bidang hukum yaitu hakim-hakim agama dan menciptakan tenaga profesional lain yang dibutuhkan dilingkungan Departemen Agama. Pada tanggal 9 Mei 1960 Departemen Agama Menggabungkan PTAIN dan ADIA, kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 yang melebur PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi “AL-JAMI’AH ISLAMIYAH AL-HUKUMIYAH” atau “INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)” yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Rektor Prof. Mr. RHA. Soenarjo, yang kemudian diberi nama IAIN Sunan Kalijaga. Akhirnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960.
Latar belakang penggabungan tersebut menurut A. Hasjmy adalah keinginan untuk mendirikan kampus Darussalam di Aceh sebagai upaya untuk pemulihan keamanan yang diakibatkan karena pemberontakan DI/TII dibawah pimpinan Daud Beureueeh, mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada zaman revolusi. Gubernur Aceh mengemukakan usul kepada Presiden Sukarno agar di bangun Perguruan tinggi Islam Negeri dan Perguruan Tinggi Umum di dalam kampus Darussalam dengan alasan pemulihan keamanan. Usul tersebut mendapat persetujuan oleh Presiden Republik Indonesia. Kemudian sebagai realisasi usulan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama berunding dengan Gubernur Aceh yang menghasilkan persetujuan bahwa didalam kampus Darussalam akan didirikan Fakultas Agama Islam Negeri. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meminta agar fakultas tersebut dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga Departemen Agama menginginkan bahwa Fakultas tersebut berada dalam nauangan Departemen Agama.
Pada akhir September 1959 Gubernur Aceh pergi ke Jakarta, waktu itu Departemen P dan K mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Kehewanan di Darussalam. Pada saat yang sama Menteri Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Agama Islam Negeri. Setelah surat keputusan Menteri Agama yang tertanggal September 1959 No. 48 tersiar tembusannya ke berbagai departemen dan instansi, Menteri P dan K melakukan protes ke Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh K. Wahib Wahab dengan alasan bahwa menurut konsensus yang telah disepakati, bahwa hanya Departemen P dan K saja yang boleh mengelola Universitas dengan fakultas-fakultasnya. Sedangkan Departemen Agama hanya mengelola Akademi Dinas. Selanjutnya diadakannya beberapa perundingan yang khusus membahas perdebatan tersebut antara Prof. DR. Priyono sebagai Menteri P dan K dengan K. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Akhirnya perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Departemen Agama boleh mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam asalkan tidak dinamai Universitas, maka didirikanlah IAIN dengan melebur PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta, menjadi IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai cabangnya. Berhubungan dengan itu, Fakultas Agama Islam Negeri yang ditetapkan dengan SK Menteri Agama No. 48 September 1959, dirubah menjadi Fakultas Syariah di Banda Aceh (cabang dari IAIN Yogyakarta) berdasarkan SK Menteri Agama tertanggal 2 Agustus 1960 No. 40 tahun 1960. Setelah berjalan selama dua tahun, IAIN mengalami perkembangan yang cepat.
Di daerah-daerah dibuka fakultas-fakultas sebagai cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN di daerah-daerah sedang jarak dan luasnya wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk memisahkan IAIN menjadi dua institut berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H. Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963 tertanggal 25 Pebruari. Untuk mempermudah pengawasan dan pengorganisasiannya, dikeluarkan pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat, kalimantan Barat dan Sumatera. Menyusul Keputusan Menteri Agama diatas keluarlah peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 tanggal 5 Desember 1963 yang antara lain dinyatakan bahwa diluar Yogyakarta dan Jakarta dapat diadakan fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan memberi hak kepada fakultas-fakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran dan ujian-ujian.
Disamping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dengan Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN. Sehingga sampai tahun 1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah dan 104 fakultas di seluruh Indonesia, yaitu : 1. IAIN Sunan Kalijogo di Yogyakarta 2. IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta 3. IAIN Jami’ah Ar-Raniri di Aceh 4. IAIN Raden Fatah di Palembang 5. IAIN Antasari di Banjarmasin 6. IAIN Alaudin di Ujung Pandang 7. IAIN Sunan Ampel di Surabaya 8. IAIN Imam Bonjol di Padang 9. IAIN Sultan Thoha Saifuddin di Jambi 10. IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung 11. IAIN Raden Intan di Tanjung Karang 12. IAIN Wali Songo di Semarang 13. IAIN Syarif Qosim di Pekan Baru 14. IAIN Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan Keputusan Presiden RI. No. 11 tahun 1997, tertanggal 21 Maret 1997, tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yaitu dengan alasan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN, dilakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar induk. Maka, sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sejumlah 33 buah di seluruh Indonesia.
STAIN ini adalah berasal dari fakultas-fakultas IAIN yang ada didaerah-daerah yang terpisah lokasinya dari IAIN induknya. STAIN ini berdiri untuk menyahuti peraturan juridist yang berkenaan dengan pendidikan tinggi serta untuk lebih menyahuti perkembangan zaman. STAIN yang berdiri tersebut antara lain : 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN Kediri 4. STAIN Malang 5. STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung 8. STAIN Salatiga 9. STAIN Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa Barat 12. STAIN Ternate 13. STAIN Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu Sangkar Sumatera Barat 16. STAIN Kerinci 17. STAIN Bukittinggi 18. STAIN Pekalongan 19. STAIN Pontianak 20. STAIN Pare-Pare 21. STAIN Curup 22. STAIN Manado 23. STAIN Watampone 24. STAIN Kudus 25. STAIN Palangkaraya 26. STAIN Cirebon 27. STAIN Kendari 28. STAIN Samarinda 29. STAIN Pontianak 30. STAIN Jurai Siwo 31. STAIN Ambon 32. STAIN 33. STAIN Selanjutnya, STAIN Malang berubah nama menjadi Universitas Islam Inodonesia Sudan (UIIS), kemudian berubah lagi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sampai sekarang. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitan Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Meskipun pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN berkembang semakin pesat, perguruan tinggi swasta pun tumbuh subur di Indonesia. Umat Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam swasta dan tidak menjadikan perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah yang berkembang pesat sebagai hambatan. Berdirinya perguruan tinggi Islam swasta dimaksudkan untuk membendung faham komunisme, atheisme yang berkembang sekitar tahun 60-an, demi kepentingan syari’ah dan dakwah, serta untuk menampung mereka yang tidak lolos seleksi di perguruan tinggi Islam negeri. Fakultas-fakultas agama yang ada pada mulanya hanya berstatus “terdaftar” dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama, kemudian meningkat menjadi berstatus “Diakui” sehingga sekitar pada tahun 1972 terdapat sekitar 110 fakultas agama yang berinduk pada 81 perguruan tinggi Islam negeri. Disamping itu terdapat pula perguruan Tinggi Islam, seperti UII Universitas Islam Indonesia), UM (Universitas Muhammadiyah), dan UNISBA (Universitas Islam Bandung), dan UNISMA (Universitas Islam Malang), serta USU (Universitas Islam Sumatera Utara). Universitas tersebut diatas memiliki fakultas agama yang berada dalam naungan dan tanggung jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA), kemudian dilimpahkan kepada IAIN setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah masing-masing. Sedangkan fakultas selain fakultas agama berada dibawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Kenyataan bahwa dalam perguruan tinggi Islam membutuhkan tenaga pendidik yang profesional dan mumpuni dibidangnya, maka dibutuhkan tenaga pendidik tersebut demi tercapainya pendidikan yang berdaya dan relevan. Tenaga pendidik tersebut dibutuhkan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta baik kualitas maupun kuantitasnya. Pembinaan tenaga edukatif yang profesional dan memenuhi syarat kualitatif dilakukan dengan mendorong dan membiayai mereka untuk mengikuti program pendidikan pasca sarjana baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berkaitan dengan upaya membentuk tenaga pendidik di perguruan tinggi Islam yang berkualitas. Maka Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, H.A. Timur Djaelani, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP/E/422/1981 tertanggal 13 Agustus 1981 dan menunjuk IAIN Jakarta untuk melaksanakan dan membuka program pasca sarjana. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan Surat Keputusan Nomor 78 tahun 1982, tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang sekarang berubah menjadi UIN) dengan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan. Tujuan umum didirikannya pasca sarjana IAIN adalah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak dan praktisi pendidikan Islam, penelitian, dan pengembangan ilmu serta pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan tujuan Khusus didirikan program pasca sarjana adalah untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu agama Islam serta mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk memiliki sikap yang ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab di bidang ilmu agama Islam.
Tujuan Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama membentuk sarjana Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak sarjana-sarjana Muslim atau pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama maupun instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam bidang agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum. Sampai sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN maupun dari kalangan masyarakat umumnya berkaitan dengan proses pendidikan dan out put IAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya. Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang wajar, dan bahkan diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan eksistensi IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya lebih bermakna. Kritik tersebut dapat dikemukakan antara lain : Kelemahan dalam kemampuan berbahasa, kelemahan sistem dan metode, kelemahaan sikap mental ilmiah, dan kekurangan piranti keras. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan-perbaikan dan solusi dengan Memperbaruhi dan mengembangkan Wawasan keilmuan dasar Islami, Memperbaruhi struktur institusional dan Memperbaruhi sistem kepemimpinan serta usaha-usaha lain yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun IAIN dan Perguruan Tinggi Islam lainnya, agar selalu dapat menjawab tantangan zaman, sehingga tidak ditinggalkan oleh masyarakat, tetapi kehadirannya justru dirindukannya. Dalam perjalanan panjang selama ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta lainnya di Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan dan sarjananya. Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di masyarakat, mereka berada di semua lini kehidupan masyarakat yang tentunya adalah untuk membangun agama, bangsa dan negara demi tercapainya kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra , Esa-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. (Jakarta : Logos, 1998) H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001) H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Haidar Daulay, IAIN Di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998) Haidar Daulay. IAIN Di era Globalisasi : Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidkan Islam Hanun Asrahah. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos 1999) Nur Hamim, Otonomi Perguruan Tinggi :Tantangan dan Peluang Bagi IAIN, ( Surabaya : FT. IAIN Sunan Ampel, Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam). 1 Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Program S1., S2, S3 2004 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Panduan PW V Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Se Indonesia Tahun 2000. Semarang, Syafii Maarif dkk. Pendidikan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991 Yakob Matondang, ed, Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam Di Era Globalisasi, (Yogya : Tiara Wacana, 1998).
Sebelum Indonesia merdeka, keinginan untuk mempunyai perguruan tinggi telah diwujudkan dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Minangkabau yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1940. Namun Sekolah Tinggi Islam ini hanya berjalan dua tahun, kedatangan Jepang di Padang telah memaksa Sekolah ini tutup, sedangkan Jepang hanya mengizinkan pendidikan Islam di tingkat Madrasah atau sekolah dasar dan menengah. Sedangkan di Jawa, umat Islam juga menginginkan adanya perguruan tinggi Islam. Gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam telah muncul pada tahun 1938 oleh Dr. Satiman melalui majalah PM No. 15. Kemudian ide tersebut diusung oleh majalah AID No. 128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi di Jakarta, Solo dan Surabaya.
Akibat penjajahan Jepang gagasan ini juga tidak dapat direalisasikan. Baru pada tahun 1945 STI dapat didirikan atas inisiatif beberapa pemimpin Islam yang tergabung dalam satu yayasan yang diketuai oleh Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Sedangkan STI tersebut diketuai oleh K.H. Kahar Muzakkir. Ketika terjadi perang kemerdekaan STI dipindahkan ke Yogyakarta tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945. Namun tiga tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 22 Maret 1948 STI di Yogyakarta ini berubah bentuk menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Paedagogik (Pendidikan).
Melalui peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950 yang ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Agustus 1950, Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertujuan memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat kegiatan dalam mengembangkan serta memperdalam ilmu pengetahuan Agama Islam, dan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Agama. Seiring dengan hal tersebut Fakultas Umum UII yaitu Fakultas Hukum, fakultas Ekonomi dan Fakultas Pendidikan berubah bentuk menjadi Universitas Gajah Mada (UGM) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950. dengan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perkembangan selanjutnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga ahli pendidikan agama dan urusan agama dilingkungan Departemen Agama, didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta sebagaimana dituangkan dalam penetapan Menteri Agama No. 1 Tahun 1957. ADIA terdiri dari dua jurusan yaitu Jurusan Pendidikan Agama dan Jurusan Sastra. Lama studi di ADIA ini adalah lima tahun yang dibagi menjadi dua tingkatan yaitu tingkat Semi Akademi selama 3 tahun, sedangkan tingkat kedua adalah Akademi yang ditempuh selama 2 tahun.
Sejak berdirinya Departemen Agama pada tahun 1946, muncul kebutuhan-kebutuhan terhadap tenaga-tenaga ahli agama Islam dan hakim-hakim agama di pengadilan agama. Kekurangan tenaga hakim tersebut dapat dipenuhi dengan membuka jurusan Hakim Agama di ADIA. Untuk sementara para mahasiswanya hanya mereka yang telah menjadi pegawai dan jawatan agama yang telah mengabdikan diri selama tidak kurang dari dua tahun dan berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun, sehingga ADIA tidak dapat menambah kuantitas mereka dan hanya meningkatkan kualitas para pegawai yang bekerja di lingkungan Departemen agama saja. Dengan demikian ADIA disamping menciptakan tenaga-tenaga guru agama juga menciptakan tenaga-tenaga terampil dalam bidang hukum yaitu hakim-hakim agama dan menciptakan tenaga profesional lain yang dibutuhkan dilingkungan Departemen Agama. Pada tanggal 9 Mei 1960 Departemen Agama Menggabungkan PTAIN dan ADIA, kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 yang melebur PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi “AL-JAMI’AH ISLAMIYAH AL-HUKUMIYAH” atau “INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)” yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Rektor Prof. Mr. RHA. Soenarjo, yang kemudian diberi nama IAIN Sunan Kalijaga. Akhirnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960.
Latar belakang penggabungan tersebut menurut A. Hasjmy adalah keinginan untuk mendirikan kampus Darussalam di Aceh sebagai upaya untuk pemulihan keamanan yang diakibatkan karena pemberontakan DI/TII dibawah pimpinan Daud Beureueeh, mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada zaman revolusi. Gubernur Aceh mengemukakan usul kepada Presiden Sukarno agar di bangun Perguruan tinggi Islam Negeri dan Perguruan Tinggi Umum di dalam kampus Darussalam dengan alasan pemulihan keamanan. Usul tersebut mendapat persetujuan oleh Presiden Republik Indonesia. Kemudian sebagai realisasi usulan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama berunding dengan Gubernur Aceh yang menghasilkan persetujuan bahwa didalam kampus Darussalam akan didirikan Fakultas Agama Islam Negeri. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meminta agar fakultas tersebut dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga Departemen Agama menginginkan bahwa Fakultas tersebut berada dalam nauangan Departemen Agama.
Pada akhir September 1959 Gubernur Aceh pergi ke Jakarta, waktu itu Departemen P dan K mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Kehewanan di Darussalam. Pada saat yang sama Menteri Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Agama Islam Negeri. Setelah surat keputusan Menteri Agama yang tertanggal September 1959 No. 48 tersiar tembusannya ke berbagai departemen dan instansi, Menteri P dan K melakukan protes ke Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh K. Wahib Wahab dengan alasan bahwa menurut konsensus yang telah disepakati, bahwa hanya Departemen P dan K saja yang boleh mengelola Universitas dengan fakultas-fakultasnya. Sedangkan Departemen Agama hanya mengelola Akademi Dinas. Selanjutnya diadakannya beberapa perundingan yang khusus membahas perdebatan tersebut antara Prof. DR. Priyono sebagai Menteri P dan K dengan K. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Akhirnya perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Departemen Agama boleh mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam asalkan tidak dinamai Universitas, maka didirikanlah IAIN dengan melebur PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta, menjadi IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai cabangnya. Berhubungan dengan itu, Fakultas Agama Islam Negeri yang ditetapkan dengan SK Menteri Agama No. 48 September 1959, dirubah menjadi Fakultas Syariah di Banda Aceh (cabang dari IAIN Yogyakarta) berdasarkan SK Menteri Agama tertanggal 2 Agustus 1960 No. 40 tahun 1960. Setelah berjalan selama dua tahun, IAIN mengalami perkembangan yang cepat.
Di daerah-daerah dibuka fakultas-fakultas sebagai cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN di daerah-daerah sedang jarak dan luasnya wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk memisahkan IAIN menjadi dua institut berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H. Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963 tertanggal 25 Pebruari. Untuk mempermudah pengawasan dan pengorganisasiannya, dikeluarkan pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat, kalimantan Barat dan Sumatera. Menyusul Keputusan Menteri Agama diatas keluarlah peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 tanggal 5 Desember 1963 yang antara lain dinyatakan bahwa diluar Yogyakarta dan Jakarta dapat diadakan fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan memberi hak kepada fakultas-fakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran dan ujian-ujian.
Disamping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dengan Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN. Sehingga sampai tahun 1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah dan 104 fakultas di seluruh Indonesia, yaitu : 1. IAIN Sunan Kalijogo di Yogyakarta 2. IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta 3. IAIN Jami’ah Ar-Raniri di Aceh 4. IAIN Raden Fatah di Palembang 5. IAIN Antasari di Banjarmasin 6. IAIN Alaudin di Ujung Pandang 7. IAIN Sunan Ampel di Surabaya 8. IAIN Imam Bonjol di Padang 9. IAIN Sultan Thoha Saifuddin di Jambi 10. IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung 11. IAIN Raden Intan di Tanjung Karang 12. IAIN Wali Songo di Semarang 13. IAIN Syarif Qosim di Pekan Baru 14. IAIN Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan Keputusan Presiden RI. No. 11 tahun 1997, tertanggal 21 Maret 1997, tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yaitu dengan alasan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN, dilakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar induk. Maka, sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sejumlah 33 buah di seluruh Indonesia.
STAIN ini adalah berasal dari fakultas-fakultas IAIN yang ada didaerah-daerah yang terpisah lokasinya dari IAIN induknya. STAIN ini berdiri untuk menyahuti peraturan juridist yang berkenaan dengan pendidikan tinggi serta untuk lebih menyahuti perkembangan zaman. STAIN yang berdiri tersebut antara lain : 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN Kediri 4. STAIN Malang 5. STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung 8. STAIN Salatiga 9. STAIN Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa Barat 12. STAIN Ternate 13. STAIN Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu Sangkar Sumatera Barat 16. STAIN Kerinci 17. STAIN Bukittinggi 18. STAIN Pekalongan 19. STAIN Pontianak 20. STAIN Pare-Pare 21. STAIN Curup 22. STAIN Manado 23. STAIN Watampone 24. STAIN Kudus 25. STAIN Palangkaraya 26. STAIN Cirebon 27. STAIN Kendari 28. STAIN Samarinda 29. STAIN Pontianak 30. STAIN Jurai Siwo 31. STAIN Ambon 32. STAIN 33. STAIN Selanjutnya, STAIN Malang berubah nama menjadi Universitas Islam Inodonesia Sudan (UIIS), kemudian berubah lagi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sampai sekarang. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitan Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Meskipun pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN berkembang semakin pesat, perguruan tinggi swasta pun tumbuh subur di Indonesia. Umat Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam swasta dan tidak menjadikan perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah yang berkembang pesat sebagai hambatan. Berdirinya perguruan tinggi Islam swasta dimaksudkan untuk membendung faham komunisme, atheisme yang berkembang sekitar tahun 60-an, demi kepentingan syari’ah dan dakwah, serta untuk menampung mereka yang tidak lolos seleksi di perguruan tinggi Islam negeri. Fakultas-fakultas agama yang ada pada mulanya hanya berstatus “terdaftar” dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama, kemudian meningkat menjadi berstatus “Diakui” sehingga sekitar pada tahun 1972 terdapat sekitar 110 fakultas agama yang berinduk pada 81 perguruan tinggi Islam negeri. Disamping itu terdapat pula perguruan Tinggi Islam, seperti UII Universitas Islam Indonesia), UM (Universitas Muhammadiyah), dan UNISBA (Universitas Islam Bandung), dan UNISMA (Universitas Islam Malang), serta USU (Universitas Islam Sumatera Utara). Universitas tersebut diatas memiliki fakultas agama yang berada dalam naungan dan tanggung jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA), kemudian dilimpahkan kepada IAIN setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah masing-masing. Sedangkan fakultas selain fakultas agama berada dibawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Kenyataan bahwa dalam perguruan tinggi Islam membutuhkan tenaga pendidik yang profesional dan mumpuni dibidangnya, maka dibutuhkan tenaga pendidik tersebut demi tercapainya pendidikan yang berdaya dan relevan. Tenaga pendidik tersebut dibutuhkan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta baik kualitas maupun kuantitasnya. Pembinaan tenaga edukatif yang profesional dan memenuhi syarat kualitatif dilakukan dengan mendorong dan membiayai mereka untuk mengikuti program pendidikan pasca sarjana baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berkaitan dengan upaya membentuk tenaga pendidik di perguruan tinggi Islam yang berkualitas. Maka Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, H.A. Timur Djaelani, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP/E/422/1981 tertanggal 13 Agustus 1981 dan menunjuk IAIN Jakarta untuk melaksanakan dan membuka program pasca sarjana. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan Surat Keputusan Nomor 78 tahun 1982, tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang sekarang berubah menjadi UIN) dengan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan. Tujuan umum didirikannya pasca sarjana IAIN adalah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak dan praktisi pendidikan Islam, penelitian, dan pengembangan ilmu serta pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan tujuan Khusus didirikan program pasca sarjana adalah untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu agama Islam serta mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk memiliki sikap yang ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab di bidang ilmu agama Islam.
Tujuan Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama membentuk sarjana Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak sarjana-sarjana Muslim atau pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama maupun instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam bidang agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum. Sampai sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN maupun dari kalangan masyarakat umumnya berkaitan dengan proses pendidikan dan out put IAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya. Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang wajar, dan bahkan diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan eksistensi IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya lebih bermakna. Kritik tersebut dapat dikemukakan antara lain : Kelemahan dalam kemampuan berbahasa, kelemahan sistem dan metode, kelemahaan sikap mental ilmiah, dan kekurangan piranti keras. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan-perbaikan dan solusi dengan Memperbaruhi dan mengembangkan Wawasan keilmuan dasar Islami, Memperbaruhi struktur institusional dan Memperbaruhi sistem kepemimpinan serta usaha-usaha lain yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun IAIN dan Perguruan Tinggi Islam lainnya, agar selalu dapat menjawab tantangan zaman, sehingga tidak ditinggalkan oleh masyarakat, tetapi kehadirannya justru dirindukannya. Dalam perjalanan panjang selama ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta lainnya di Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan dan sarjananya. Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di masyarakat, mereka berada di semua lini kehidupan masyarakat yang tentunya adalah untuk membangun agama, bangsa dan negara demi tercapainya kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra , Esa-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. (Jakarta : Logos, 1998) H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001) H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Haidar Daulay, IAIN Di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998) Haidar Daulay. IAIN Di era Globalisasi : Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidkan Islam Hanun Asrahah. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos 1999) Nur Hamim, Otonomi Perguruan Tinggi :Tantangan dan Peluang Bagi IAIN, ( Surabaya : FT. IAIN Sunan Ampel, Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam). 1 Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Program S1., S2, S3 2004 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Panduan PW V Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Se Indonesia Tahun 2000. Semarang, Syafii Maarif dkk. Pendidikan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991 Yakob Matondang, ed, Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam Di Era Globalisasi, (Yogya : Tiara Wacana, 1998).
1 komentar:
KABAR BAIK!!!
Nama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.
Post a Comment